Punkajian Anak PUNk Muslim

Updated at: 05:01.
Under Category: Seputar Underground Islami
Berbekal ilmu agama pas-pasan, penghuni rumah singgah Sanggar Oedix, Pulo Gadung, berdakwah kepada kelompok punk jalanan. Mereka adalah kelompok punk muslim yang rajin menggelar pengajian tiap malam Jumat.

AGUS WIRAWAN, Jakarta
DARI balik tembok taman kota yang gelap dan rimbun, muncul enam laki-laki muda dan seorang perempuan. Kulit mereka hitam dan dekil. Mereka berdandan aneh. Sebagian bertindik di kedua telinga. "Di dalam masih ada lima cowok dan seorang cewek, tapi nggak mau ikut. Katanya, capek karena seharian ngamen," tutur Asep Vanhalen, anggota punk muslim yang badannya penuh tato.
Malam itu, Kamis (13/5) pukul 23.30, Asep bertugas menjemput kelompok punk yang biasa mangkal di perempatan Klender. Pemuda 21 tahun tersebut akan membawa mereka ke markas punk muslim di Jl Swadaya No 3, Pulo Gadung. Setiap malam Jumat, di sana digelar punkajian -istilah pengajian bagi anak-anak punk.
Punk Klender, menurut Asep, termasuk golongan yang masih salah jalan. Mereka tidak mengenal agama. Punk jalanan hidup berkelompok dengan anggota lebih dari sepuluh orang. "Saya dulu juga hidup seperti mereka," papar dia. Dia bisa mengajak punk Klender karena kenal dengan pimpinannya saat berada di penjara anak.

Punk jalanan biasa tidur di mana saja. Antara lain, emperan toko, halte, dan kebun kosong. Demikian juga kencing dan BAB (buang air besar), mereka melakukannya di mana saja. "Yang paling sakral, mereka tidak mau mandi. Bahkan, kalau ada asap knalpot, baju mereka dideketin agar tambah kotor," ujar Asep. "Makin kotor, makin ngepunk," tambah dia.

Tiba di tempat tujuan, rombongan punk Klender disambut rekan-rekan sesama punk yang muslim. Mereka berada di markas tersebut sejak pukul 22.00.

Berbeda dengan acara pengajian pada umumnya, yang biasa didominasi baju takwa dan kopiah, jamaah punkajian berbaju apa adanya. Rombongan punk Klender tidak diberi tahu bahwa pertemuan itu bernama pengajian. "Kami ingin silaturahmi saja," tutur Ahmad Zaki, salah seorang pendiri punk muslim, kepada tamunya dari Klender.

Asap rokok mengepul ditemani makanan seadanya. Mereka bicara tentang berbagai hal, mulai musik hingga masalah-masalah jalanan. Salah seorang dari Klender mengadu pernah dipukul seorang preman. Pengaduan itu ditanggapi serius oleh kelompok punk muslim. Mereka berjanji membantu. "Kalau mau gabung punk muslim, kami bantu tangkap orang itu. Nanti, banyak teman pengacara yang bantu," ujar Zaki.

Lelaki 25 tahun yang bekerja di Dompet Dhuafa tersebut mengungkapkan, punk jalanan hampir tak pernah salat. Mereka menganggap salat dan Tuhan tidak berguna. "Tuhan mereka adalah uang," ujarnya. "Mereka rata-rata ateis sosialis. Kalau ada yang beragama, itu bisa saja. Tapi secara komunitas, (punk) nggak mengenal (Tuhan, Red)," jelas dia.

Di forum tersebut, beberapa anggota punk muslim menceritakan pengalaman mereka di jalanan dengan bahasa anak jalanan. Kemudian, barulah mereka menyelipkan petuah-petuah tentang kehidupan yang lurus. Menurut Zaki, rata-rata punk jalanan bingung menjawab, apakah punk bisa menjadi jaminan masuk surga. "Biasanya, ada yang tobat. Ada yang salat tahajud saja, tapi tidak salat lima waktu. Lumayan lah," ungkapnya lantas terkekeh.

Saat ini Zaki dan teman-temannya rajin mendekati kelompok-kelompok punk jalanan. Tak jarang mereka bertemu kelompok-kelompok punk di luar Jakarta. Misalnya, Jogjakarta, Tegal, Semarang, Palu, dan Batam. "Kami prospek mereka. Kami nggak bisa mengubah seseorang secara frontal. Ada yang kala bertemu bilang muslim, begitu lepas kafir lagi," papar dia.

Punk muslim dibentuk pada 2007, tepatnya Ramadan, di rumah singgah anak jalanan, Sanggar Oedix, sebelah kiri Terminal Pulo Gadung. Rumah tersebut dulu merupakan tempat berkumpul para preman, copet, penodong, dan pengamen. Berkat tangan dingin Ketua Panji (Persaudaraan Anak Jalanan Indonesia) Budi Khaironi (almarhum), rumah itu berubah menjadi tempat pertobatan anak jalanan.

Sampai 2009, kelompok punk muslim belum berani terang-terangan menunjukkan eksistensi. Saat ini tak kurang dari 15 anak punk yang tinggal di Sanggar Oedix. "Tahun ini kami ingin kegiatan terbuka. Misalnya, punkajian di terminal atau halte-halte," tutur Zaki. Tujuannya, setidaknya mengimbau anak punk agar mau mandi. "Kalau sebelumnya mereka nggak mandi sampai empat tahun, kami usahakan mau wudu, bersih-bersih badan," sambungnya.

Dharma Putra, salah seorang anggota punk muslim, mengakui awalnya susah mengikuti jalan hidup islami. Sebab, tiap hari dia hanya memikirkan cara mendapatkan uang. Dengan mengamen di Terminal Pulo Gadung mulai pagi sampai malam, dia bisa mendapatkan uang minimal Rp 100 ribu. "Karena dapatnya gampang, ya untuk beli minuman, narkoba. Sekarang, alhamdulillah tidak lagi. Ngamen masih, salat jalan terus," ucap laki-laki 26 tahun itu. Kini seks bebas, obat-obatan terlarang, serta aktivitas mencopet dan menodong tidak lagi menjadi bagian dari kehidupan penghuni rumah singgah Sanggar Oedix.
Jawa Pos

Punkajian Anak PUNk Muslim
"Punkajian Anak PUNk Muslim" Di Posting oleh blog , Monday, July 26, 2010, pukul 05:01 dalam topik Seputar Underground Islami dan permalink https://uchilucuw.blogspot.com/2010/07/punkajian-anak-punk-muslim.html. Nomer ID: 5.888,888.

Comments :

 
© 2012 Uchi Lucu
Is Hosted by Blogger