Disertasi dengan Nilai exelent 1

Updated at: 04:56.
Under Category: Pengetahuan
Siapa yang tak kenal dengan nama Dr.Abdul Ghofur Maemun, m.A putra nama Kyai terkenal di jawa Simbah KH.Maemun Zubaer baru saja melakukan bedah disertasi di KSW (Kelompok Study Walisongo) di Mesir dengan judul Risalah “Hâsyiyatusy-Syaikh-i Zakariyâ Al-Anshâry ‘alâ Tafsîril Qâdhy Al-Baidhâwy, min Awwal-i Sûrat Yûsuf-i ilâ Âkhir-i Sûrat-i As-Sajdah; Dirâsat-un wa Tahqîq-un”. (Dirasat dan Tahqiq atas Hasyiyah Syekh Zakariya Al-Anshari ‘ala Tafsiril Qadhi Al-Baidhawi, mulai Surat Yusuf sampai Surat As-Sajdah).
Dengan tebal sktr 1900 halaman dalam 2 jilid serta tulisan yang begitu kecil yang tak begitu mudah mencapai itu semua tapi tak sia-sia dengan hasil akhir mumtaz syarof ulla atau dalam bahasa inggris exelent the first dengan Beliau ambil masalah manuskrip.

Samapai sang Munaqis atau sang penguji bilang bahwa karya beliau lebih baik dari karya Imam Syaukhul Islam Syeh Zakariya Al-Anshary bahkan beliau akan ngasih di atas nya kalu pun itu ada itusemua karena sangat tawadhu' nya beliau dalam menghadapi semua maslaah serta dalam jangka yang cukup lama, Beliau dr.Fadholan Musyafa' mengatakan Beliau Dr. Abdul Ghofur adalah tumbal kedua setelah Sayyidah Aisyah sampai sang penguji pun tak percaya dia bisa menghasil kan karya yang begitu hebat, Beliau pun sempat berpesan harus ada setelah dia dari orang indonesia khusus nya bisa menyelesaikan Gelar Doktor nya biar para penguji pun percaya bahwa orang Indonesia mampu menempuh semua itu dengan hasil yang memuaskan, pesan 1 lagi dari Beiau yang di kutip dari Syaikhul Islam Syekh Zakaria al-Anshari " Jika Kamu Ingin Mengubah Nasib Mu Maka Belajar lah".
Ini adalah ringkasan Risalah disertasi beliau di Ksw Mesir,"Tafsir Al-Baidhawi oleh banyak pakar tafsir dianggap sebagai puncak kematangan metode tafsir model Sunny-Asy’ary. Ia berhasil menetaskan intisari Al-Kasysyâf-nya Imam Zamakhsyari yang mencoba meretas jalan baru dalam studi tafsir al-Quran melalui analisa-analisa sastrawi yang berkelindan dengan pondasi akidah Mu’tazilah, dan Mafâtihul Ghaib-nya Imam Ar-Râzi yang dengan piawai menampilkan Al-Quran sebagai buku suci pedoman akidah Asy’ariyah.
Oleh karena itu, tafsir yang ditulis pada akhir abad ke 7 H. ini menarik perhatian kalangan ulama abad tsb, hingga abad-abad setelahnya. Dan bahkan kemasyhurannya telah menerobos melewati batas wilayah Tabriz, Iran--tempat tinggal Imam Baidhowi setelah sebelumnya tinggal di Shiraz--hingga sampai ke Mesir. Tak heran jika kemudian tafsir karya Imam Baidhowi ini menjadi buku wajib yang diajarkan di Masjid Al-Azhar. Dan dengan kemasyhurannya tersebut, banyak para ulama yang menulis syarah (penjelasan-penjelasan) dan hâsyiyah (catatan-catatan) terhadap tafsir ini. Salah satunya adalah Hâsyiah Fathil Jalîl karya Syekh Zakariya yang hidup pada akhir abad sembilan dan awal abad sepuluh.
Imam Zakariya, yang lahir pada tahun 824 dan wafat tahun 926, adalah sosok ulama ensiklopedis seperti lazimnya ulama-ulama besar era itu. Karya-karyanya berbicara mengenai fikih, tafsir, hadist, bahasa, sastra, tasawuf, dan lain-lain. Pada ranah sosial-politik, ia menjabat sebagai direktur sejumlah madarasah, guru tasawuf, dan qadhi. Pada tahun 906, dua pulah tahun sebelum menghadap Sang Khaliq, ia kehilangan indera penglihatan, yang membuatnya undur diri dari aktivitas luar. Di sisa umurnya ini, ia mengabdikan diri untuk mengajar dan menulis. Di antara hasilnya adalah Syarh Shahîhul Bukhârî, dan Hâsyiah Fathil Jalîl, objek risalah saya ini.
Hâsyiyah Fathil Jalîl tidak dimaksudkan memberi catatan-catatan detil seperti Hâsyiatusy Syihâb dan Al-Qawnawy misalnya. Ia lebih merupakan catatan seorang guru yang akan ia sampaikan dalam ruang kelas. Oleh karena itu, karya ini hanya merupakan catatan-catatan kecil pada permasalahan-permasalah penting yang tak boleh dilewatkan dalam mengajar Tafsir Baidhowi, utamanya masalah qirâ’ah, gramatika, dan takhrîj hadîts. Imam Abdul Wahhab Asy-Sya’rani mencerikan bahwa ia mengaji kepada Syekh Zakariya Al-Anshâri, tafsir Baidhâwî sekaligus hâsyiah beliau atasnya.
Penisbatan Kepada Pengarang
Ada sejumlah argumentasi untuk menisbatkan dengan meyakinkan hâsyiyah ini kepada Syekh Zakariya. Pertama: tercantumnya nama Syekh Zakariya pada setiap manuskrip yang ada. Kedua: buku-buku yang khusus membahas karya-karya para ulama sepakat menisbatkan hâsyiah ini kepada beliau. Ketiga: dalam karya ini, kita temui beliau merujuk definitif kepada bukunya yang lain. Keempat: sebagaian dari para penulis biografi Syekh Zakariya menyebut hâsyiyah ini sebagai salah satu karyanya.
Pemilihan Manuskrip
Sebagaimana disampaikan di muka, Syekh Zakariya menulis karya ini saat beliau sudah kehilangan indera penglihatan. Melihat ini dapat dipastikan bahwa beliau tidak menulisnya sendiri. Untuk keperluan otentisitas, perlu dicari manuskrip yang di dalamnya terdapat penjelasan bahwa itu ditulis atas perintah atau seizin beliau. Sayang ini tak saya temukan. Namun begitu ada satu manuskrip dengan dîbâjah yang memberi isyarat kuat bahwa itu ditulis pada masa hidup beliau. Dalam dîbâjah itu ada kalimat-kalimat seperti ini:
قال سيدنا ومولانا شيخ مشايخ الإسلام أبو يحيى زكريا الأنصاري الشافعي, أمتع الله بوجوده الأنام وحرسه بعينه التي لا تنام.
Kalimat “amta’alLâhu …” hanya pas dipredikatkan kepada insan yang masih hidup. Untuk itu, manuskrip ini saya letakkan sebagai rujukan pertama. Dua manuskrip lainnya ditulis pada tahun 940 dan tahun 989.
Dirâsat dan Taqîq
Secara garis besar, risalah ini terbagi menjadi dua bagian, dirâsah dan tahqîq. Dirâsah adalah penelitian penulis mengenai teks manuskrip, yang mencakup sejumlah hal, diantara yang terpenting adalah: a. penulisan biografi pengarang; b. penjelasan ilmiah mengenai manuskrip, yang dalam hal ini diantaranya membahas judul, penisbatan, metode penulisan, sumber rujukan, dan penilaian kritis atas naskah manuskrip; dan c. deskripsi fisik manuskrip.
Sementara tahqîq adalah menyuguhkan sedemikian rupa manuskrip tulisan tangan yang susah dibaca, agar hadir di hadapan pembaca modern dalam bentuk yang terorganisir rapih, tanpa mencederai keaslian teks. Dalam hal ini, al-mabnâ muqaddamun ‘ala al-ma’nâ, mendahulukan fisik luar kalimat ketimbang kandungan artinya. Dengan demikian, tugas utama pentahqiq adalah menegakkan kalimat-kalimat naskah manuskrip sesuai dengan aslinya, dan mengorganisirnya agar mudah dibaca. Setelah itu, jika dirasa perlu pentahqiq bisa memberi catatan-catatan untuk membantu pembaca dalam memahami naskah, seperti takhrij hadits, syi’ir dan mastal, menuliskan biografi singkat tokoh-tokoh yang kurang dikenal yang dikutip oleh pengarang, dan lain sebagainya.
Dalam tahqîq ini, saya menghadapi dua aliran yang berbeda. Yang pertama agar tak perlu banyak mengurusi al-ma’nâ, dan yang kedua menuntut penelusuran lebih luas terhadap al-ma’nâ, dengan tanpa mengabaikan al-mabnâ. Dan karena alasan-alasan tertentu, saya memilih aliran kedua, dengan melakukan kompromi di sana-sini dengan aliran pertama. Konskuwensinya adalah risalah menjadi sangat tebal dan melelahkan, dan mendapat sorotan tajam dari salah satu munaqisy".

Disertasi dengan Nilai exelent 1
"Disertasi dengan Nilai exelent 1" Di Posting oleh blog , Saturday, July 17, 2010, pukul 04:56 dalam topik Pengetahuan dan permalink https://uchilucuw.blogspot.com/2010/07/disertasi-dengan-nilai-exelent-1.html. Nomer ID: 5.888,888.

Comments :

 
© 2012 Uchi Lucu
Is Hosted by Blogger